Suku Melayu tergolong ke dalam Deutero Melayu (Melayu Muda) yang merupakan bagian dari gelombang besar kedua migrasi ras Melayu-Austronesia dari daratan Asia yang terjadi sekitar 300 S.M.[9] Pada abad ke-7, masyarakat yang bermukim pada kawasan Sungai Batang Hari, membentuk Kerajaan Malayu. Secara geografis, pada mulanya Melayu hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut, yang meliputi wilayah Sumatera bagian tengah. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi vassal Kerajaan Sriwijaya.[10] Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari Sumatera.[11]
Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu pada kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta.[12] Era kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada masa wangsa Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka[13][14][15] sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak. Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda. Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu: Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan dan [nairasaon] yang terdiri dari sitorus,sirait,butar-butar,manurung ini merupakan beberapa marga dari batak toba.
Mandailing dalam bahasa Minang berasal dari dua kata, mande dan hilang yang digabung menjadi mandehilang bermaksud ibu yang hilang dan kemudian berubah tutur menjadi sekarang. Selain itu, Mandailing atau Mandahiling bisa juga berasal dari kata Mandala dan Hiling atau Holing, yang artinya pusat negeri Kalinga atau Kalingga. Kalingga sendiri berasal dari kata Sanskrit Lingga, yang berarti lelaki dan imbuhan ka atau ha, menjadi Kalingga atau Halingga, yang berarti 'kelelakian'.
Suku Batak Angkola adalah salah satu suku di Sumatera Utara yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.Suku Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu suku asli dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. dermawan laoli Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
"Minangkabau" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Minangkabau, lihat Minangkabau (disambiguasi).
Minangkabau Jumlah populasi Kurang lebih 8 juta di Indonesia (2010)[rujukan?] Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Sumatera Barat, Indonesia: 4.264.000.
Jabotabek, Indonesia: 890.000.
Riau, Indonesia: 624.000.
Jambi, Indonesia: 495.000.
Aceh, Indonesia: 448.000.
Sumatera Utara, Indonesia: 345.000.
Kepulauan Riau, Indonesia: 156.000.
Bengkulu, Indonesia: 73.000.
Sumatera Selatan, Indonesia: 70.000.
Negeri Sembilan, Malaysia: 450.000[1].
Bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Agama Islam.
Kelompok etnis terdekat Melayu.
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[2] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).[3]
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,[4] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,[5] walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.[6]
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.[7][8] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.[10] Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.
Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina[3]) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.