Sejak tahun 1958, Sumatera Barat resmi sebagai provinsi. Sebelumnya, sejak proklamasi Sumatera Barat berstatus sebagai salah satu keresidenan di provinsi Sumatera. Gubernur pertama provinsi Sumatera Barat adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Baso.
Nenek moyang orang Minangkabau, sama dengan nenek moyang orang Indonesia lainnya, berasal dari daratan Asia. Mereka mengarungi Laut Cina Selatan, menyebrangi Selat Malaka, dan kemudian sampai dan menetap di wilayah Sumatera Barat.
Sumatera Barat pernah menjadi daerah penyebaran agama Budha, yaitu, pada masa pemerintahan Raja Adityawarman. Pemerintahan Adityawarman ketika itu terletak di Pagaruyung. Sepeninggal Adityawarman, Sumatera Barat banyak menjalin hubungan dengan dunia luar, terutama dengan Aceh. Implikasi dari terjalinnya hubungan dengan Aceh, terjadi penyerapan budaya dan penyebaran agama Islam. Islam kemudian mewarnai budaya Sumatera Barat secara kental. Tokoh yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam pertama di Sumatera Barat adalah Syekh Burhanuddin.
Sejak tahun 1595, armada dagang Belanda sudah mulai terlihat di Pantai Barat Sumatera Barat. Hegemoni politik Belanda di Sumatera Barat dimulai tahun 1666 ketika dilakukan pembangunan loji dagang mereka di Pulau Cingkuk dan diiringi pembangunan benteng di Padang. Seiring dengan semakin kukuhnya kekuasaan Belanda, pengaruh Aceh dan bangsa Eropa selain Belanda semakin berkurang.
Kekuasaan Belanda di Sumatera Barat sempat terputus pada bulan November 1795, digantikan oleh pemerintah Inggris. Inggris berkuasa selama 23 tahun. Sebagai realisasi dari konvensi London tahun 1814, Inggris harus menyerahkan Sumatera Barat kembali ke tangan Belanda. Setelah itu, Belanda berkuasa untuk kedua kalinya sampai balatentara Jepang milai menduduki wilayah tersebut tahun 1942.
Pada masa penjajahan Inggris adalah era dimulainya gerakan Paderi. Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan praktek ajaran Islam dari berbagai penyimpangan. Paderi akhirnya memiliki pengaruh yang besar di Sumatera Barat. Belanda yang berniat menguasai Sumatera Barat secara utuh merasa gerah dengan pengaruh Paderi ini. Akhirnya pada tahun 1821, Belanda mulai melakukan konfrontasi dengan kelompok agama tersebut.
Pertentangan Belanda dengan kaum Paderi akhirnya meluas ke seluruh rakyat Sumatera Barat. Pada masa berikutnya muncul seorang pemimpin bernama Tuanku Imam Bonjol. Dengan dibantu oleh seluruh masyarakat, Tuanku Imam Bonjol berupaya untuk mempertahankan wilayah Bonjol sebagai benteng terakhir Paderi. Namun akhirnya pada tahun 1837, Belanda dapat mengalahkan perlawanan rakyat tersebut dan berhasil menduduki nagari Bonjol. Tuanku Imam Bonjol ditawan dan diasingkan ke Lotak (Manado).
Kekuasaan Belanda di Sumatera Barat betul-betul mantap pada awal abad 20. Sebagai kompensasi dari berakhirnya praktek tanam paksa kopi, Belanda memungut pajak dari rakyat. Pajak yang begitu tinggi ditambah dengan kekangan yang diterapkan pemerintah kolonial, menimbulkan perlawanan rakyat Sumatera Barat, misalnya perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Kamang dan Manggopoh. Semua perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh Belanda.
Dapat ditumpasnya berbagai perlawanan local tidak berarti terhentinya perjuangan menentang kolonialisme. Gerakan kebangsaan kemudian muncul menggantikan perlawanan local. Dimulai oleh masuknya Serikat Islam, kemudian bermunculan organisasi-organisasi seperti Jong Sumatranen Bond, Partai Nasional Indonesia, dan Muhammadiyah.
Pada tanggal 17 Maret 1942, jepang mulai menduduki Bukittinggi dan Padang. Akhirnya Jepang menguasai wilayah Sumatera Barat sebagai bagian dari penguasaannya atas wilayah Indonesia. Jepang berkuasa di Sumatera Barat sampai kekalahan yang dideritanya dalam Perang Pasifik yang kemudian direspons oleh para pejuang kemerdekaan di Jakarta dengan memproklamasikan kemerdekaan.
Proklamasi Kemerdekaan RI diterima oleh para pejuang Sumatera Barat secara tidak langsung. Mereka menerima berita tersebut secara samar-samar dari opsir Jepang di Padang., kemudian melalui berita radio yang diterima kantor berita Jepang, Domei, yang berhasil dimonitor oleh aktivis pergerakan di Padang. Setelah yakin akan isi berita tersebut, para pemuda langsung menyeberluaskan berita kemerdekaan tersebut ke seluruh nagari.
Para pemuka Sumatera Barat kemudian membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diketuai oleh Mohammad Syafei. Pembentukan KNID ini disusul dengan pembentukan organisasi lain, yaitu, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 13 Oktober 1945, sekutu mendarat di Teluk Bayur. Seperti di daerah-daerah lain, NICA ternyata membonceng kedatangan Sekutu dengan maksud yang jelas, yaitu, ingin berkuasa lagi di Indonesia, ternasuk di Sumatera Barat. Perlawanan pun pecah diseluruh wilayah Sumatera Barat.
Pada tahun 1948, provinsi Sumatera pecah menjadi tiga provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dalam struktur baru tersebut, Sumatera Barat, bersama Riau dan Jambi, menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota provinsi Sumatera Tengah dan Mr. M. Nasrun ditetapkan sebagai gubernurnya.
Pada waktu Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militer Belanda II tahun 1948, Sumatera Barat ditetapkan sebagai pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diketuai oleh Syafruddin Prawiranegara. PDRI berakhir pada bulan Juli 1949, ditandai dengan kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949. Setelah keadaan kembali normal, ibukota negara RI kembali ke Yogyakarta.
Pada tanggal 15 Februari 1958, di Padang lahir gerakan separatis bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Untuk menghadapi pemberontakan tersebut, pemerintah pusat melancarkan operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Achmad Yani. Sebelum akhir tahun, seluruh wilayah Sumatera Barat telah terbebas dari pengaruh gerakan pemberontakan tersebut. Setelah keadaan membaik, pemerintah menetapkan Sumatera Barat sebagai provinsi. Pembentukan provinsi tersebut berlandaskan UU No. 61 tahun 1958.